Tanamkan keyakinan dalam hati, bahwa tidak ada yang maujud kecuali Allah. Kemudian pandanglah wujud seluruh isi alam semesta ini sebagai penampakan Wujud-Nya. Selanjutnya, tanamkan keyakinan tersebut dengan cara, memandang bahwa semua perbuatan makhluk, fana dalam Perbuatan Allah, termasuk nama, sifat dan zat makhluk. Semua fana dan kembali pada wujud Allah.
Orang yang telah berhasil memiliki keyakinan tersebut, tidak akan ada lagi yang tertinggal dari makhluk kecuali hanya khayalan dan wahm semata. Dan keyakinan seperti itu akan menghantar seseorang sampai pada kesadaran bahwa seluruh perbuatan dan berbagai peristiwa yang terjadi di alam semesta ini, merupakan “perbuatan-perbuatan” dan wujud Allah. Ibaratnya, seorang hamba adalah sehelai benang yang tak berdaya karena terombang-ambing tertiup angin kian kemari.
Demikian pula halnya dengan seluruh asma yang ada di alam ini, semata-mata dilihat sebagai Asma Allah. Bahkan seluruh sifatnya pun dilihat sebagai Sifat Allah, demikian pula keseluruhan wujud dilihat sebagai Wujud Allah. Maka, pada saat seperti itu “tenggelamlah” (bukan banyak menjadi satu) dalam laut Ahdiyah (Keesaan) Allah. Orang yang telah masuk ke wilayah Ahdiyah, tidak akan berharap dirinya “terbebas” dari mabuk di tengah gelombang samudra Ilahi. Karena orang tersebut telah merasakan nikmatnya khamar kebenaran. Sehingga tidak lagi ingin siuman dari “mabuk cinta kepada Allah.”
Syuhud dan Mabuk
Pada saat seseorang telah "mabuk berat" seperti itu, sesungguhnya orang tersebut telah berhasil menggapai maqam fana fillah. Artinya, semua wujud menjadi binasa atau hilang ke dalam Wujud Allah. Dan orang yang telah fana akan memperoleh kehormatan yang amat besar berupa maqam baqa Allah, yang akan dapat menyempurnakan dirinya menjadi "Insan Kamil". Karena orang yang belum mencapai maqam baqa, belum sempurna derajatnya.
Maqam baqa Allah adalah anugerah yang diberikan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang istiqomah dalam penyaksiannya (syuhud) dan memandang bahwa hakikat alam semesta ini hanyalah khayal dan fatamorgana.
Ada dua cara yang dapat dilakukan oleh seorang salikin (pejalan), agar dapat memandang segala wujud sebagai penampakan Wujud Allah SWT:
1. Syuhudul katsrah fil wahdah, yaitu memandang yang banyak di dalam yang satu. Artinya, pandanglah bahwa wujud berbagai makhluk hanya dapat berdiri semata-mata karena Wujud Allah (Qa'im bi Wujudillah). Wujud makhluk tidak berdiri sendiri. Sebagai contoh adalah ketika kita melihat sebatang pohon maka yang kita lihat bahwa pohon itu terdiri dari batang, ranting, daun, dan bagian-bagian lainnya. Padahal, kalau kita perhatikan dengan seksama, semua itu dimulai dari satu hal, yaitu biji. Demikian pula dengan alam semesta ini, yang berasal dari Yang Satu, yaitu Allah SWT.
2. Syuhudul wahdah fil katsrah, yaitu memandang yang satu di dalam yang banyak. Maksudnya, pandanglah bahwa Allah Maujud pada segala partikel wujud (zarratul wujud). Hal ini bias kita umpamakan dengan sebuah biji. Di mana dari biji akan keluar daun, cabang, pohon, dan bagian-bagian lain yang merupakan keseluruhan dari pohon. Seperti itu pulalah Wujud Allah Yang Esa. Dari-Nya-lah munculnya alam semesta ini.
Renungkanlah kedua cara pandang di atas dengan zawqi (rasa). Janganlah memandang dengan cara qawli (pengakuan lewat kata-kata) atau lafazi (wacana), karena lidah, pandangan, dan lafal tidak akan mampu melakukannya.
Sayyidi Mustafa al-Bakri ra. menegaskan: "Sesungguhnya jalan penuntun kaum arifin (semoga Allah meridai mereka) adalah bersifat gaib. Penuntunnya tidak dapat dicerna oleh pancaindra, misalnya lewat mata lahiriah, karena ia berjalan melalui hati. Dan itu merupakan hal atau perkara yang gaib."
Bagi seorang murid, wajib membenarkan terhadap pengaruh atau kesan yang ditimbulkan (atsar), sehingga ia akan bersungguh-sungguh dan siap menerima berbagai tantangan dalam ijtihadnya. Karena sesungguhnya jalan yang akan dilalui adalah jalan yang amat sukar bagi jiwa (nafs). Bahkan saking sulitnya, hingga tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Karena itu, barang siapa yang dengan ringan mengaku telah memperoleh ilmu sang 'arif tersebut, dan ilmu tersebut diperolehnya lewat lafal, qawl (kata-kata), dan ta'bir (interpretasi yang mengarah pada pemberlakuan hukum rasional), maka sesungguhnya orang tersebut telah menjadi Zindiq. Na'udzu billahi min dzalik.
Tajalli dan Zawqi
Ketika Allah telah membukakan rahasia Dirinya (tajalli) dengan Zat-Nya pada seorang hamba (hal itu bisa saja terjadi tanpa melalui perantara atau wasithah), maka yang terjadi pada orang tersebut adalah akan merasakan fana. Di sisi-Nya ia menjadi “lenyap” dan tenggelam dalam wujud Allah, baik dari segi zat maupun sifat. Dan orang yang demikian berarti telah mencapai tajalli (atas dasar kehendak-Nya). Karena tidak ada seorang pun yang mampu melakukannya atas dasar kehendak dirinya sendiri, melainkan hanya dengan kehendak Allah, bahkan sekalipun ia telah melalui proses bimbingan dari syekh-syekhnya. Karena para syekh itu sebenarnya hanya berperan sebagai sarana dan penunjuk jalan, sementara kondisi tajalli itu merupakan hal yang zawqi. Jika seseorang tidak merasakan zawq, maka ia sebenarnya tidak tahu apa-apa. Sebagaimana diungkapkan oleh kaum bijak (hukama):
مَنْ لَمْ يَذُقْ لَمْ يَدْرِ .
"Barang siapa tiada merasakan (zawq), ia tidak mendapatkannya".
Pernyataan tersebut dapat diibaratkan dengan orang yang tinggal di Indonesia, tapi mendapat cerita tentang rasa buah safar jal (sejenis buah-buahan yang umumnya tumbuh di daratan Arab). Sekalipun didukung pengetahuan dan cerita lengkap tentang rasa buah tersebut, tetapi orang itu tidak akan dapat membayangkan dengan pasti rasa safar jal itu secara hakiki, karena ia belum pernah merasakan langsung. Tetapi, jika ia sudah pernah merasakan langsung, maka dengan mudah ia akan memahami rasa yang sesungguhnya dari buah safar jal tersebut.
Demikian juga halnya dengan makrifat kepada Allah. Jika seseorang telah merasakan, niscaya hanya dirinya sajalah yang mengetahui rasanya, dan ia tidak akan mengalami kesulitan untuk bercerita. Bagi kaum 'arif yang telah mengalami hal zawqi tersebut, tidak dapat mendefinisikan dengan tepat mengenai hal ini. Karena pada dasarnya mereka lemah untuk memberikan semacam iktibar bagi masalah semacam ini. Bahkan mereka pun menyadari keterbatasan makrifat mereka. Hal ini tercermin dari pengakuan Nabi SAW yang terungkap dalam sebuah hadits:
سُبْحَانَكَ مَا عَرَفْنَاكَ حَقَّ مَعْرِفَتِكَ .
"Mahasuci Engkau ya Allah, kami tidak mengenal-Mu dengan sebenar-benar makrifat." (Tercantum dalam kitab Addurun Nafis)
Kaum 'arif merasa lidah mereka kelu untuk mengatakan perihal makrifat tersebut, sebagaimana isyarat dalam sabda Nabi SAW:
مَنْ عَرَفَ اللهَ كَلَّ لِسَانَهُ .
"Barangsiapa yang mengenal Allah, niscaya kelu lidahnya." (Tercantum dalam kitab Addurun Nafis)
Kekeluan lidah itu disebabkan oleh faktor keterbatasan ilmu maupun kata yang tidak dapat mengurai rasa secara hakiki. Karena makrifah adalah rasa (zawq atau amr zawqi) maka hanya bisa diketahui oleh yang merasakan.
Wujud dan Maqam
Untuk memahami kalimat yang menyatakan bahwa "Allah maujud pada setiap yang berwujud", harus ditempatkan pada konteks Hakikat dan Sifat Yang Berdiri Sendiri (Qayyum-Nya). Jika benar-benar telah mengenal-Nya, maka pemaknaan kalimat tersebut tidaklah harus tergelincir pada konteks ittihad ataupun hulul. Jika ada kekhawatiran, maka syuhud adalah jalan terbaik untuk menyadarkan diri. Bahwa batas maksimal yang mungkin bisa dicapai dalam proses menuju kepada-Nya hanyalah sampai pada Maqam Tauhidus Shifat.
Hal itu dapat dimaklumi karena kebanyakan di antara para wali Allah hanya sampai pada maqam tersebut. Mereka tidak memaksakan diri untuk sampai kepada Maqam Tauhiduz Dzat. Dan orang yang berhasil memperoleh Maqam Tauhiduz Dzat hanyalah Rasulullah SAW, dan orang-orang yang mungkin berada satu tingkat di bawah Qadam Rasulullah SAW. Namun demikian, setiap orang berhak mencapai Maqam Tauhiduz Dzat. Orang yang merasakan Tajalli Zat, niscaya akan tenggelam dalam lautan Ahdiyah Wujud Yang Mutlak, yang Laysa kamitslihi syay'un (tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya).
Orang yang telah sampai pada tataran tersebut, biasanya tidak lagi peduli pada hitungan amal yang pernah dilakukan, maupun pujian yang datang menghampirinya. Orang semacam ini juga tidak akan berpaling dari suatu maqam ke maqam lainnya, di luar ijtihadnya. Kecuali bila orang itu masih dalam proses ijtihad, kemudian mengalami suatu hal yang mengharuskannya berpindah kepada maqam tertentu. Karena, maqam seperti itu, pencapaiannya bersifat gaib, akibat Wujud Mutlak Allah. Bahkan tak ada seorang pun yang tahu mengapa dirinya bisa sampai pada maqam tertentu.
Orang yang telah mencapai maqam Tajalli Zat tidak akan merasakan sesuatu lagi, karena Tajalli Zat telah mengakhiri segalanya. Semata-mata fokus pada penyaksian terhadap Wujudul Haqq Yang Esa. Bahkan akal pun tidak menyisakan tempat bagi pikiran-pikiran lain. Karena hanya terbang dengan Tajalli Nur akibat Yang Disaksikan.
Zindik dan Rahasia-Nya
Al-'Arif billah Maulana Syekh Siddiq Ibn Umar Khan qs. berpendapat, "Orang yang berada di Maqam Tauhiduz Dzat, ia hampir-hampir tidak berpegang pada syariat, bahkan terkadang mengeluarkan kata-kata yang tidak bisa diterima oleh para ulama syariat, sehingga mereka menghardik dengan label zindiq padanya, karena orang ini hanya berpegang pada hakikat, tidak menerapkan syariat yang nyata." Inilah yang dimaksudkan oleh Imam al-Junayd ra. sebagai berikut:
لاَ يَبْلُغُ اَحَدٌ دَرَجَةَ الْحَقِيْقَةِ حَتَّى يَشْهَدُ فِيْهِ اَلْفُ صِدِّيْقٍ بِاَنَّهُ زِنْدِيْقٌ .
"Seseorang tidak akan sampai kepada derajat hakikat kalau belum dianggap zindiq oleh seribu orang siddiq."
Yang dimaksud dengan siddiq di sini adalah orang yang menempuh jalan syariat yang sempurna.
Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya'rani ra, bertanya kepada syekhnya, Sayyidi 'Ala al-Khawwas qs, "Apakah derajat hakikat itu?" Syekhnya menjawab: "Derajat hakikat itu adalah hilangnya segala wujud yang tampak (lahir) dari pandangan, tapi bukan hilang dari nafsul amr. Jadi, bila seseorang memandang dengan musyahadah, maka melalui hatinya, ia tidak melihat kecuali hanya Allah SWT. Bila seseorang tidak lagi melihat selain Allah, berarti ia tidak menyadari lagi apa pun yang diucapkannya. Dan kata-kata yang diucapkannya pun tidak terikat dengan kaidah syariat yang serba lahiriah. Akibatnya, orang-orang yang siddiq tersebut tidak membenarkan, selain menganggapnya zindiq. Karena, mereka menjaga kemurnian syariat Nabi kita Muhammad SAW. Mereka khawatir kalau hal-hal demikian akan diikuti oleh orang lain, sebagaimana misalnya yang terjadi pada diri al-Hallaj."
Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya'rani, ra., bertanya lagi kepada syekhnya: "Apakah para salik itu memang harus betul-betul sampai kepada hakikat?" Syekh pun menjawab: "Betul, para salik akan sampai pada hakikat. Ia akan dibimbing oleh Allah SWT melalui perantara syekhnya, agar dinding yang selama ini menutupinya dibuka. Dan setelah berhasil, ia akan kembali lagi pada tingkatan kehidupan biasa (derajat adab) sebagaimana yang dijalani sebelumnya sebagai sosok salaf yang saleh".
Bila rahasia Diri-Nya telah tampak melalui proses musyahadah yang istiqomah, meski sekejap sekalipun tak soal. Karena pengalaman spiritual semacam itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang dimuliakan Allah misalnya para Nabi dan aulia. Nikmati, jaga, dan simpanlah dengan baik pengetahuan tersebut. Dan jangan bercerita kepada orang lain, apalagi kepada orang yang bukan ahlinya. Karena itu diharamkan oleh Allah. Bahkan Allah menyatakan itu sebagai rahasia yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh, dan memerintahkan untuk menutupinya baik-baik. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW menjaga rahasia tersebut, sabdanya:
وَاللهِ مَحَارِمُ فَلاَ تَهْتَكُوْهَا .
"Dan bagi Allah itu ada beberapa rahasia yang diharamkan-Nya untuk menyatakannya, maka jangan kamu buka". (Tercantum dalam kitab Addurun Nafis)