Oleh : CM. Hizboel Wathony
Kamis, 24 Mei 2018 /
8 Ramadhan 1439 Hijriyah
Anak-anakku semuanya,
Kembali lagi kita bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat sehingga kita masih ada kesempatan dan diberi kesempatan untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dan kita menginjak hari ke-8.
Anak-anakku semuanya,
Mari kita coba untuk intropeksi ke dalam diri kita masing-masing dimana kita sebagai seorang hamba dimana benar benar ingin meraih cinta kasih Allah SWT, meraih rahmat Allah SWT karena ini bulan Ramadhan bulan yang penuh dengan rahmat. Mari kita menjaring rahmat Allah SWT. Maka untuk mendapatkan rahmat Allah SWT tidak ada jalan lain kecuali kita menjadi orang yang menerima apapun yang telah diberikan oleh Allah SWT. Dengan kaya lain kita harus qona’ah, qona’ah terhadap apapun yang Allah SWT berikan kepada kita. Dan jika kita berbicara tentang Qona’ah yang artinya menerima atau dalam bahasa jawa disebut nerimo. Dalam hadis Rasulullah SAW :
Barang siapa yang qona’ah maka ia orang yang kaya
Jadi hakekat orang yang kaya ialah orang yang qona’ah orang yang nerima karena saat orang mendapatkan di dalam hatinya lapang, luas, tidak terikat oleh sesuatu apapun, tidak terpedaya oleh sesuatu apapun, tidak terintimidasi, tidak tertekan, itulah hakekat orang kaya. Bukan berarti orang yang kaya raya itu orang yang berilmpah harta benda, itu baru secara lahiriah, tetapi apa artinya berlimpah harta benda namun diperdaya oleh harta benda itu sendiri? Apa artinya berlimpah harta benda justru diperbudak harta itu sendiri? Contoh yang paling sederhana apabila kita mau melihat kehidupan yang nyata, ada orang yang disebut kaya raya, ada orang yang belimpah harta benda, dia setiap pagi pergi ke kantornya dan pulang malam dan seterusnya seperti itu. Kapankah ia menikmati harta benda yang berlimpah ruah tersebut? Ada lagi orang (pedesaan) yang dilihat sederhana yaitu sekedar pulang pergi ke sawah, namun setelah ditanya ia tentram dan enak hatinya dimana ia tidak menanggug beban kredit, tidak menanggung beban-beban lainnya, dia makan apa adanya hasil dari sawah ladangnya, tidak banyak hutang dimana mana, anak-anaknya sehat, keluarganya pun sehat dan soleh solehah. Betapa indahnya hidup itu. Namun apabila kita melihat di wilayah perkotaan orang yang sibuk dengan kesibukan-kesibukan yang nyaris tidak ada waktu untuk keluarga dan anak karena sibuk dengan kantor dan harta bendanya bahkan disibukkan pula dengan perhitungan hutang-hutang yang menumpuk di perbankan dan dimana mana, pikirannya bercabang kemana-mana, mungkin bisa disebut sengsara. Jika melihat contoh ini maka mana yang disebut kaya? Tentu saja kita akan lebih memilih orang yang kaya hakekatnya orang yang lapang hatinya, tentram hatinya.
Wahai anak-anakku semuanya,
Jadikanlah hidup ini adalah yang penuh dengan kedamaian hingga tentram hatinya.