Ma'rifah Sebagai Puncak Tujuan


Sabtu , 24 September 2016


اِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةٌ مِنَ التَّعَرُّفِ فَلاَ تُبَالِ مَعَهَا اِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَاِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ ا ِلاَّ وَهُوَ يُرِيْدُ اَنْ يَتَعَرَّفَ ا ِلَيْكَ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ التَّعَرَّفُ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَ اْلاَ عْمَالُ اَنْتَ مُهْدِيْهَا اِلَيْهِ و َاَيْنَ مَا تَهْدِيْهِ اِلَيْهِ مَمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ.

“Apabila Tuhan membukakan bagimu suatu jalan untuk ma'rifah, maka jangan menghiraukan soal amalmu yang sedikit, sebab Tuhan tidak membukakan bagimu, melainkan Dia akan memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah kau ketahui bahwa ma'rifah itu semata-mata pemberian karunia Allah kepadamu, sedang amal perbuatanmu hadiah dari padamu, maka di manakah letak perbandingannya antara hadiah dengan pemberian karunia Allah kepadamu?”

Ma'rifah (mengenal Allah SWT) adalah puncak tujuan setiap hamba yang beriman kepada-Nya. Dan Ma'rifah adalah karunia yang merupakan pemberian langsung dari Allah. Dia memberikan karunia tersebut kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tidak peduli berapa banyak amal yang telah dilakukan oleh seorang hamba. Karena Allah tidak pernah pilih kasih. Dia memberi kepada siapa pun yang Dia kehendaki.


Tauhid

Fitrah manusia adalah Ma'rifah. Baik dalam pengertian 'aam (umum) maupun dalam arti khush (khusus). Yang dimaksud dengan Ma'rifah dalam pengertian umum ialah pengenalan iman kepada Allah SWT, sebagaimana yang dikaji dalam 'aqoidul iman yang sangat mendasar. Sedangkan yang dimaksud dengan pengenalan secara khusus adalah mengenal Allah SWT dalam arti Ma'rifatullah (melihat Allah SWT) dengan mata hati. Maka ia melihat “Tak ada perbuatan yang bertebaran di alam ini, kecuali perbuatan Allah; Tak ada nama yang melekat pada suatu apapun, melainkan nama Allah; Tak ada sifat yang mewarnai diri, kecuali sifat Allah; Tak ada zat yang meliputi makhluk, melainkan Zat Allah”. Dengan tahapan Ilmalyaqin (ilmu yang mencapai tahapan yakin), 'Ainulyaqin (penglihatan yang mencapai tahapan yakin), Haqqulyaqin (kebenaran yang diyakini) dan Akmalulyaqin (keyakinan yang sempurna). Dan itu pulalah ilmu tauhid, yang disebut juga sebagai inti agama atau pokok dari segala yang pokok. Dengan kata lain, tauhid merupakan keyakinan yang paling dasar, yang diajarkan kepada setiap manusia, sebelum lebih jauh lagi merambah pada aspek-aspek lain yang terkait dengan agama.


Anugerah

Anugerah Allah kepada hamba yang dikasihi-Nya merupakan “lensa” ma'rifah yang hakiki, yang akan menghantar seorang hamba mampu menatap keindahan wajah-Nya. Sedangkan bagi orang yang tidak mendapat anugerah, akan mengenal Tuhan dengan cara mereka sendiri menurut versi angan khayalnya. Sebagaimana Firaun menuhankan dirinya, Namrud menuhankan patung batu (arca). Dan di zaman kini banyak orang menuhankan sesuatu selain Allah, seperti menuhankan pangkat, jabatan, materi, bahkan ada yang menuhankan kekuatan alam dan teknologi.

Sesungguhnya, nikmat yang paling besar adalah ketika Allah telah menunjukkan tanda-tanda kebesarannya, yang membuat seseorang menjadi ma'rifah. Sehingga terbukalah pintu kema'rifahan yang sakinah, yang mendatangkan ketenangan yang luar biasa.

Hal ini pernah dialami oleh Nabi Ibrahim AS. dalam mengenal Allah. Ibrahim mendapat anugerah ma'rifah kepada Allah setelah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan. Dan akhirnya diganti oleh Allah dengan rasa nikmat yang besar, serta ketenangan yang sangat luar biasa.: ”Dan demikian Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi,dan(Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:”Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam." Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: ”Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: ”Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: ”Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: ”Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan”. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (Al An'aam: 75-79).

Kemudian terjadi pula pada perjalanan Nabi Musa AS.: ”Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu”. Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: ”Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. Dan telah Kami janjikan kepada Musa sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: ”Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” Dan ketika Musa dating untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa: ”Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: ”Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, gunung itu jadi hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: ”Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (Thahaa: 9-14 dan Al A'raaf: 142 & 143)

Lika-liku perjalanan Nabi Ibrahim AS. dan Nabi Musa AS. dalam mencari Tuhan memang sarat tantangan. Tetapi sesungguhnya semua peristiwa yang menghampiri bermuara pada alur bimbingan-Nya. Keduanya tidak bisa mengelak dari alur yang disediakan Allah. Dan itulah yang disebut “Anugerah Allah SWT”. Sehingga akhirnya Nabi Ibrahim as. dan Nabi Musa AS. Menemukan Ilahul Haq alias Tuhan yang sesungguhnya, yaitu Allah SWT.

Maka ketika Allah membukakan pintu ma'rifah-Nya yang hakiki, jangan ragu menerimanya. Karena, sebagaimana di terangkan di atas, bahwa ma'rifah merupakan anugerah Allah SWT yang dilandasi oleh kasih Allah kepada hamba-Nya. Adapun amal ibadah, adalah merupakan persembahan hamba kepada Tuhannya. Diumpamakan, anugerah itu layaknya seorang budak yang diangkat martabatnya oleh raja, untuk menjadi perdana menteri. Sedangkan amal ibadah diibaratkan upeti rakyat kepada rajanya. Betapa jauh perbedaan di antara keduanya.

Kebanyakan manusia, melakukan dan memperbanyak amal kebaikan dengan tujuan agar mereka dapat mendekatkan diri (Taqarrub) kepada Allah SWT. Padahal, Allah tidak bisa “disuap.” Allah memberi anugerah kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Kesadaran bahwa Allah bisa berbuat apa saja menurut kehendak-Nya, adalah tanda kearifan. Maka yang diperlukan dalam melakukan amal ibadah, adalah keikhlasan. Selanjutnya biarlah menjadi urusan Allah.


Gerbang Ma'rifah

Ketika seseorang menderita sakit, jangan pernah su-uzhon (buruk sangka) bahwa penyakit yang diderita akan mengurangi ibadah kepada Allah. Intensitas ibadah yang berkurang karena sakit, harus dijadikan kesempatan untuk bisa makin intens berkomunikasi dengan Allah. Karena bisa saja penyakit itu justru merupakan isyarat, tanda terbukanya pintu kema'rifahan.

Karena, justru lewat sakit dapat membuat seseorang menjadi lapang dada dan luas hati untuk mulai meninggalkan berbagai kenikmatan dunia, dan merindukan negeri akhirat. Sehingga dengan ikhlas akan siap meninggalkan dunia yang fana sebelum kematian itu sendiri datang menjelang. Bukankah Allah berjanji sebagaimana yang terlukis dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah ra: “Apabila Aku mencoba hamba-Ku yang beriman kemudian dia tidak mengeluhkan Aku kepada para pengunjungnya maka akan Kulepaskan dari belenggu-Ku dan akan Kuganti daging yang lebih baik dari dagingnya serta darah yang lebih baik dari darahnya sendiri. Kemudian dia dapat mengerjakan (memulai) pekerjaannya kembali”.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa ma'rifah kepada Allah SWT dapat ditempuh lewat beragam cara. Dan setiap proses selalu didasari oleh hidayah dan anugerah Allah SWT. Disebut dengan hidayah dan anugerah karena perjalanan setiap hamba diarahkan oleh Allah ke tempat-tempat yang dikehendaki-Nya. Contoh sakit di atas, sudah pasti tidak ada seorang pun yang ingin sakit. Tetapi justru lewat sakit, terbukalah pintu kema'rifahan yang menghantar perjumpaan dengan Allah.

Maka dalam perjalanan mengenal Allah jangan sekali-kali mengandalkan amal perbuatan, karena niscaya akan menemukan kehampaan belaka. Sebab Allah SWT tidak bisa dirayu dengan amal perbuatan. Seperti dikisahkan, pernah terjadi pada seorang wanita yang menginginkan perjumpaan dengan Tuhannya. Bertahun-tahun melakukan ibadah ritual, tetapi Allah SWT tidak juga menampakkan diri-Nya. Kemudian ia protes dengan melakukan berbagai perbuatan maksiat termasuk menari di sekitar patung-patung (berhala). Tetap Allah tidak menampakkan diri. Wanita itu akhirnya merasa lelah mencari Allah dan akhirnya pasrah seraya berdoa: “Ya Allah, aku mengharapkan-Mu dengan amal baik, Engkau tak datang, kusodorkan dengan maksiat, juga Engkau tak tampak walau dengan murka-Mu. Kini aku lelah mencari-Mu, kini kupasrahkan segalanya kepada-Mu, Ya Allah Tuhanku.” Karena memang sesungguhnya, di saat hamba pasrah dan telah sirna daya dan upayanya, maka di saat itu pula Allah SWT memperkenalkan diri-Nya.

Akhirnya, hanya dengan anugerah Allah seorang hamba dapat ma'rifah. Dan hamba yang telah menerima anugerah dari-Nya, adalah benar-benar hamba pilihan. Maka, apabila Allah telah membukakan pintu ma'rifah-Nya, jangan risau dengan sedikit ibadah. Karena bukan jumlah ibadah yang akan dilihat oleh Allah, tapi lebih pada getaran hati orang yang melakukan ibadah. Apakah di dalam hatinya terkandung niat ikhlas atau tidak. Dalam hadis riwayat Muslim menyebutkan: "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk jasad dan rupa (amal)mu, tetapi Ia melihat dan memperhatikan niat ikhlas yang ada di dalam hatimu." Sementara ikhlas hanya dapat dicapai oleh orangorang yang telah benar tauhidnya, karena ikhlas hanya ada pada hati yang bertauhid "Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al Ikhlash: 1-4).